Bisnis.com, JAKARTA -- Putra Sulung Sukarno, Guntur Soekarnoputra menyatakan keputusan pencabutan TAP MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 telah menghapus stigma buruk terhadap Presiden ke-1 RI Sukarno.
Dia mengatakan bahwa dirinya beserta keluarga dari Bung Karno telah menunggu sekitar setengah abad atau 57 tahun agar ayahnya itu terbebasan dari tuduhan berkhianat pada NKRI.
"TAP MPRS nomor XXXIII/MPRS/1967 telah dinyatakan tidak berlaku lagi, dan tuduhan terhadap Bung Karno telah melakukan pengkhianatan kepada bangsa dan negara telah tidak terbukti dan gugur demi hukum," ujarnya di kompleks Senayan, Senin (9/8/2024).
Guntur menilai, Bung Karno sebagai pejuang proklamator tidak seharusnya diperlakukan atau dituding sebagai pengkhianat NKRI karena terkait dengan PKI.
"[Sukarno] seorang tokoh dunia yang berkeinginan dunia kembali yang sepanjang hidupnya telah berjuang untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negaranya, serta tidak pernah cacat hukum apalagi mengkhianati bangsa dan negaranya sendiri, harap catat tidak pernah cacat hukum apalagi mengkhianati bangsa dan negaranya sendiri," tambahnya.
Mewakili keluarga besar Bung Karno, Guntur mengucapkan apresiasi dengan terhadap MPR RI dan Kemenkumham akan atas keputusannya untuk mencabut ketetapan No.33/1967 tentang kecabutan kekuasaan negara dari Presiden Sukarno tersebut.
Baca Juga
"Akhirnya atas nama keluarga besar Bung Karno dan rakyat Indonesia yang mencintai Bung Karno. Saya mengucapkan terima kasih kepada pimpinan MPR RI Menteri Hukum dan Hak asasi Manusia Republik Indonesia, dan semua pihak yang telah mendukung acara ini," pungkasnya.
Sebagai informasi, dalam acara silaturahmi kebangsaan ini turut hadir Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Megawati Soekarnoputri Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra. Adapun, cucu Bung Karno, antara lain Tatam Soekarnoputra dan M. Prananda Prabowo.
Dalam acara itu, hadir juga sejumlah pengurus DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan anggota Fraksi PDIP di DPR RI, seperti Sekjen Hasto Kristiyanto, Ketua DPP Ganjar Pranowo, Yasonna H. Laoly, Deddy Yevri Hanteru Sitorus, Djarot Saiful Hidayat, dan Komarudin Watubun.